Kamis, 15 September 2011

Membangun Usaha (Bagian 16)

Pemerintah beralasan bahwa kontrak penjualan gas dilakukan beberapa tahun yang lalu, ketika harga gas murah, tapi bukankah lazimnya kontrak tidak mengikat harga dalam jangka waktu panjang dan apakah pembeli tidak melihat bahwa harga komoditas selalu berfluktuasi. Contoh lain adalah PLN kekurang batu bara untuk menggerakan tenaga listrik, karena batubara yang ada banyak dijual keluar negeri. Bahkan ironisnya pulau Kalimantan sebagai penghasil batubara terbesar di Indonesia, kekurangan pasokan listrik.

Tapi biarlah itu urusan pemerintah dan wakil rakyat yang harus menyelesaikannya. Yang menarik adalah produk rotan, hutan kita menghasilkan rotan sebesar 85 persen dari total produksi dunia. Tetapi mebeul yang terbuat dari rotan kita, kalah bersaing dari produk yang sama dari Negara China yang rotannya diimpor dari Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa produksi kita tangat tidak efisien. Karena kalau ditinjau dari mata ratai dan biaya produksi, seharusnya produk China jauh lebih mahal dari produk kita.

China membeli rotan mentah dari Indonseia, tentunya dengan harga lebih mahal dari pada penghasil rotan memproduksi sendiri, karena penghasil rotan telah mengambil keuntungan. Kemudian dibebani biaya ekspor yang terdiri dari biaya pengangkutan ke pelabuhan, biaya pengapalan, biaya pengangkutan dari kapal ke pabrik, biaya pengkutan produk jadi dari pabrik ke pelabuhan, biaya pengapalan, biaya pengangkutan dari kapal ke tempat pemasaran. Serta terdapat biaya lain yaitu pengurusan dokumen. Ijin impor dan lain-lain.

Dari uraian diatas sebenarnya tidak masuk akal kalau pengrajin rotan kita mengeluh karena kalah bersaing dengan produk China. Dan mereka menyalahkan pemerintah, karena membuat peraturan membuka kran ekspor bagi produk bahan baku rotan.

Saya kira ada yang salah dengan industri rotan kita, yang harus kita cari akar permasalahannya dan segera diperbaiki. Tetapi ada beberapa hal yang memungkinkan terjadinya kesalahan. Pertama industri kita sangat tidak efisien, apakah dari mesin produksi, apakah dari pemanfaatan bahan baku yang kurang optimal (seperti pemotongan yang salah, sehingga banyak yang terbuang) dan lain-lain.

Yang kedua mungkin juga kita kalah bersaing dari hasil produk yang tidak diminati pasar, karena model yang ketinggalan jaman, atau bisa juga kalah dalam hal kerapiahan dan kehalusan pekerjaan. Sebenarnya masalah seperti ini bisa diatasi yaitu kita harus memiliki inovasi dan lebih mengedepankan mutu produk dari pada jumlah produk yang dihasilkan.

Banyak potensi yang kita miliki hanya dijual dengan bentuk bahan mentah tentunya dengan harga yang sangat rendah. Sebagai contoh adalah produksi kakao, sebagaian besar dijual dalam bentuk bahan mentah kering dan hasil permentasi. Dengan harga berkisar antara Rp. 13.000 sampai dengan Rp. 20.000 per kg (pada saat barang langka). Tetapi coba kita lihat harga kakao (cokelat) hasil olahan. Dari data yang saya peroleh coklat bubuk tidak murni harga terendah adalah Rp. 37.000 per kg, yang lainnya dijual dengan harga Rp. 63.500, ada yang menjual dengan harga Rp. 65.000. sesuai dengan kualitas dan kemurnian cokelat.

Harga jual bubuk cokelat antara dua sampai tiga kali lipat dari harga penjualan petani dalam bentuk biji cokelat. Artinya ada pedagang yang mengolah biji cokelat menjadi tepung cokelat dengan keuntungan kotor sebesar 200 persen. Sedangkan petani dengan perjuangan dari mulai menanam, memberi pupuk, memanen, mengupas sampai dengan menjemur, hanya memperoleh pendapatan yang sangat kecil. Padahal dari mulai menanam sampai dengan menjual biji cokelat diperlukan waktu bertahun-tahun.

Hal ini merupakan peluang usaha yang sangat menjanjikan dimana margin yang diperoleh sangat besar. Akan tetapi diperlukan suatu perencanaan dan pelaksanaan yang tidak sesimpel menjual biji kakao kepada tengkulak. Perlu dipersiapkan cara yang baik dalam mengolah biji kakao menjadi bubuk cokelat sehingga dapat menghasilkan bubuk cokelat dengan kualitas baik. Hal ini perlu diperhatikan karena dengan kualitas produksi yang baik, produk dapat bersaing dengan produk lain, sehingga akan memudahkan dalam pemasaran.

Pemasaran produk bisa dilakukan kepada pemakai langsung dimulai dengan menawarkan kepada toko pembuat kue, mereka bisa diberi sampel dan jelaskan kepada mereka bahwa bubuk cokelat yang dijual adalah murni tidak ada campuran apapun, sehingga kualitasnya bisa dijamin. Harga yang ditawarkan harus lebih rendah dari pada harga beli dia dari tempat lain. Harga jual bisa lebih rendah dari harga pasar, bukan berarti keuntungan lebih kecil, karena dengan menjual langsung kepada pemakai akhir dapat memotong mata rantai perdagangan.

Apabila produk sudah diterima oleh pembeli dan tidak ada masalah dalam pengadaan bahan baku dan produksi. Tahap selanjutnya adalah mengembangkan usaha, yaitu menawarkan kepada penjual kue lainnya dan konsumen pertama bisa dijadikan referensi. Kunci keberhasilan usaha ini adalah memperhitungkan segala aspek. Dari mulai pemgadaan bahan baku yang berkualitas, proses produksi sesuai dengan standar, pengemasan yang menjaga kebersihan, serta penampilan yang menarik. Serta membuka dan menjaga pasar potensial. (Baca Selanjutnya ……)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan anda memberikan komentar atas artike yang telah anda baca. Terutama saran untuk perbaikan. Terima Kasih