Usaha pertanian jarang dilirik oleh pengusaha besar, bahkan perbankanpun enggan mengucurkan kredit untuk usaha ini. Alasannya adalah usaha pertanian dianggap usaha yang tidak memiliki kepastian harga dan daya serap pasar, penuh dengan resiko, modal kerja yang diperlukan cukup besar dan banyak lagi alasan lain.
Akan tetapi saya memiliki pandangan lain, usaha pertanian menurut saya memiliki prospek yang sangat baik, dan dapat memberikan keuntungan yang cukup besar dengan jangka waktu yang relative singkat. Memang kalau cara bertani tradisional, alasan diatas bisa diterima, akan tetapi ada cara lain yang dapat meminimalkan resiko dan memaksimalkan keuntungan.
Apabila dalam isltilah saham dikenal dengan portopolio, dimana untuk memperkecil resiko lebih banyak jenis saham, maka resiko akan semakin kecil. Artinya apabila salah satu saham mengalami kerugian, maka saham yang lain ada kemungkinan memberikan keuntungan. Begitupun dengan usaha pertanian yang memiliki resiko tinggi, maka seharusnya sayur yang ditanam tidak satu macam dan dalam waktu bersamaan. Memang ada resiko lain, apabila terserang hama penyakit akan menyebar pada tanaman berikutnya, akan tetapi hal ini bisa dicegah dengan pengobatan yang intensif.
Akan tetapi yang terbukti berhasil dalam pertanian adalah dengan cara mengoptimalkan semua potensi yang ada guna mendapatkan penghasilan yang maksimal. Istilah yang saya pakai adalah “Optimalisasi Pertanian”. Akan tetapi saya bertemu dengan seorang rekan yang yang telah berhasil dalam usaha pertanian, beliau menamakannyanya dengan istialah “Manajemen Bertingkat”. Akan tetapi apapun istilah yang dipakai, maksudnya sama.
Pada prinsipnya adalah memanfaatkan setiap jengkal tanah pertanian untuk dijadikan sumber pendapatan. Kita mungkin sering melihat ada lahan yang luas hanya ditanami dengan jagung, itupun pola penanamannya asal, asalan, sehingga hasil yang didapat tidak banyak, bahkan sering kita dengar petani mengalami kerugian karena gagal panen, atau karena panen melimpah harga jual rendah. Bahkan kita sering mendengar hasil pertanian tidak dipanen, karena biaya panen lebih tinggi dari harga jual.
Akan tetapi saya mengenal seorang petani sayur di Lampung dengan luas lahan kurang dari 4 hektar. Mampu menghasilkan keuntungan sampai ratusan juta sebulan. Padahal tanah yang digunakan untuk bertani, gersang dengan suhu udara panas, menurut teori, tidak mungkin untuk menanam sayuran. Akan tetapi karena pengelolaan dilakukan secara intensif dan memperhatikan semau unsure yang diperlukan, maka hasilnyapun sangat baik, bahkan diatas petani lain yang menanam dilahan subur.
Sebetulnya kuncinya hanya dua, yaitu yang pertama adalah melakukan pola tanam intensif. Sayur yang ditanam hanya tiga jenis, yaitu tomat, cabe dan terung. Akan tetapi karena dilakukan secar intensif, maka hasilnya sangat melimpah. Sebagai contoh petani rata-rata mghasilkan tomat dari satu pohon antara 1 sampai 1,5 kg. sedangkan dia menghaslikan 3 sampai 3,5 kg per pohon. Begitupun untuk cabe dan terung.
Yang kedua adalah menanam pada waktu (timming) yang tepat, hal ini sangat berhubungan erat dengan harga jual, karena walaupun hasil melimpah, tapi kalau harga jual rendah, maka penghasilannya pun akan rendah. Sebagaimana kita ketahui, harga tomat di tingkat petani terendah hanya Rp. 200 per kg, dan tertinggi sampai Rp. 4.000 per kg.
Memang cukup banyak kendala dengan menanam sayuran berlawanan dengan waktu, sebagi contoh musim kemarau dimana air untuk menyiram sulit didapat. Akan tetapi beliau membuat sumur bor yang yang tidak terlalu besar, karena cara menyiram sangat efisien, yaitu penyiraman dilakukan langsung ke akar tanaman melalui selang kecil yang ditanam dan dilubangi pas pada akar tanaman. Disamping itu tanah ditutupi plastic mulsa untuk menghindari penguapan, sehingga hampir seluruh air diserap oleh tanaman.
Tidak selamanya intensifikasi itu memerlukan modal besar, akan tetapi yang diperlikan adalah kreativitas dan inovasi dan dilakukan secara totalitas.
Ada lagi teman di Jogjakarta memenfaatkan tanah pertanian dengan maksimal tanaman dan ternak dalam tanah yang dikelolanya. Diantaranya adalah menanam sayuran untuk jangka pendek, menanam pisang dan papaya untuk jangka menengah (tetapi setelah menghasilkan hasilnya bisa dinikmati setiap hari). Ada pohon rambutan, pohon mangga, pohon durian, pohon nangka dan lain-lain. Pohon tersebut untuk jangka panjang dan penghasilan secara musiman.
Selain itu memelihara sapi perah, yang menghasilkan susu setiap hari, anak sapi setiap 13 bulan sekali dan menghasilkan pupuk organic dari kotoran sapi yang dipergunakan untuk memupuk tanaman yang ada dalam kebun tersebut. Sedangkan pada lahan yang sulit ditanam oleh saur maupun pohon laiinya, karena kemiringan, dipinggir kebun dan dipinggir kolam, ditanami rumput gajah untuk pakan sapi.
Juga memelihara kambing terutama dipelihara untuk persiapan Qur’ban, pembelian dilakukan pada saat harga murah dan dijual pada saat menjelang Qurban, sehingga harganya tinggi. Juga dipelihara ayam kampong yang menghasilkan telur setiap hari dan menghasilkan daging setiap seminggu sekali.
Selain itu dibuat kolam untuk menanam lele, dengan memanfaatkan air limbah dari kandang sapi. Pakan lele diberikan bukan berupa pellet yang mahal harganya tetapi mempergunakan limbah yang ada. Walaupun perkembangan lele tidak secepat memakai pakan pellet, akan tetapi keuntungan bis lebih besar karena biaya sangat efisien.
Biaya yang dilkeluarkan hanya pada saat pertama kali mengelola pertanian, sedangkan selanjutnya seluruh biaya bisa ditutupi dari hasil kebun yang diperoleh. Sebagai contoh biaya gaji karyawan ditutupi dari hasil penujalan pisang dan mangga. Biaya pemeblian pakan sapi dari sebagian penjualan susu sapid an seterusnya. Sehingga keuntungan yang sangat besar karena diperoleh dari beberapa sumber.
Terima Kasih, Sukses Selalu
Firdaus Hendrawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan anda memberikan komentar atas artike yang telah anda baca. Terutama saran untuk perbaikan. Terima Kasih